Senin, 18 Mei 2009 | 14:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Matematika sering dianggap momok, ilmu yang sulit
dipelajari dan membosankan. Tetapi, dengan pendekatan berbeda seperti mamakai
bahasa dan logika pada soal cerita, Matematika justeru ilmu yang menyenangkan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pria Saptono, Koordinator
Acara kompetisi internasional Matematika bertajuk 'Gauss Contest
2009-Canadian Mathematics Competition', yang digelar oleh Sevilla School,
Sabtu (16/5) di Jakarta. Pria mengatakan, dengan membiasakan diri memakai
metode pembelajaran bahasa dan logika pada soal cerita, kemampuan siswa tidak
lagi dibentuk dengan cara hanya menghapal rumus atau menghitung.
"Belum mulai belajar pun siswa biasanya sudah malas
duluan ketika melihat hapalan rumus yang tampak rumit dan hitungan yang sulit.
Tetapi melalui pemahaman materi lewat kemampuan bahasa dan nalarnya, siswa justru
merasa lebih nyaman dan senang untuk mendalami materi," ujar Pria, di sela
kompetisi.
Sebagai tolak ukur, Pria membandingkan cara sederhana dalam
menawarkan metode pembelajaran kepada para siswa. Di Amerika Serikat (AS)
misalnya, kata Pria, kemampuan bahasa adalah nomor satu, sementara Matematika
nomor dua.
Tidak mengherankan, penekanan itu membuat siswa di AS lebih
mudah memahami Matematika. "Di sini malah terbalik, kita menjadikan
Matematika nomor satu dan Bahasa Indonesia atau Inggris nomor dua," tandas
Pria, yang juga guru Matematika di Sevilla School.
Berdasarkan hal itulah, Pria mengatakan, perlunya
menerjemahkan materi-materi pelajaran Matematika dalam konsep teori bahasa,
baik itu dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris. Lain halnya di Singapura,
tambah Pria. Di sana, guru menerjemahkan aljabar dengan gambar-gambar dan teks
yang kerap mereka sebut dengan nama 'unit'.
"Karena bahasa berfungsi sebagai alat pemahaman paling
mudah dan sederhana, soal cerita bisa menyesuaikan berbagai kasus Matematika,
sementara jika tetap dengan rumus belum tentu siswa bisa memahaminya," tambah
Pria.
Kendala
Kurikulum adalah kendala, yang menurut Pria cukup membuat
metode ini belum bisa sepenuhnya diterapkan. Di Sevilla School, misalnya,
selain menggunakan kurikulum Cambridge, pengajaran Matematika juga masih
berbekal pegangan dari kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
"Tetapi yang dari Diknas itu adalah pembelajaran dengan pendekatan teori
saja, praktiknya bisa kami lakukan dengan bermacam cara," tandas Pria.
Sebaliknya, sejauh ini, pengajaran masih dipenuhi beragam
kegiatan yang bersifat verbalistik dan mekanis. Materi dan strategi
pembelajaran yang dipilih terarah dan terfokus pada upaya peningkatan kemampuan
intelektual siswa, yaitu cara berpikir kritis dan kreatif.
Tidak mengherankan, kata Pria, metode pembelajaran hapal rumus
dan hitungan angka-angka kurang merangsang anak didik memahami Matematika
secara efektif dan memberi hasil maksimal. "Siswa terkotak-kotak oleh
hapalan atau rumus sehingga tidak kreatif menggunakan logika untuk menuntaskan
masalah," kata Pria.
Pria menambahkan, selain kreatif, siswa akan terbiasa
berkompetisi secara sehat. "Karena cara ini menjauhi siswa dari budaya
mencontek, sebab mereka sudah terbiasa membongkar banyak kasus Matematika yang
sulit dengan cara, nalar, dan rasa percaya diri mereka yang tinggi," tegas
Pria.
Bulan lalu, (30/4), puluhan guru dari berbagai sekolah
berkumpul di Sekolah Dasar Santa Ursula, Jakarta. Mereka berdiskusi untuk
menemukan solusi agar para siswa tidak menjadikan Matematika sebagai momok
menakutkan. Diskusi itu menyimpulkan, Metode Marzano dianggap sebagai
pendekatan yang dapat dijadikan pegangan untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Forum diskusi tersebut menyayangkan, sampai kini pengajaran
Bahasa Indonesia dan Matematika (baca-tulis-hitung), --yang dijadikan tumpuan dasar
bagi pengembangan berpikir siswa pendidikan dasar, belum dikembangkan dengan
baik. Menurut Kenneth Cock, Direktur Sampoerna Foundation Teacher Institute
(SFTI), yang menjadi fasilitator diskusi, Metode Marzano merupakan teknik soal
cerita Matematika yang menekankan pada pengertian siswa terhadap kalimat atau
cerita di dalam soal tersebut.
"Uji coba metode ini tentu memudahkan siswa
menerjemahkan soal ke dalam angka," ujar Kenneth. "Bila guru yang
mengajar Matematika tidak memiliki kemampuan membentuk kalimat dengan baik, si
anak didik juga sulit menerjemahkan soal-soal cerita yang dibuatnya,"
tambah Kenneth.
Kiranya,
pendapat Pria pun mengamini komentar tersebut, meskipun tidak di tempat dan
waktu yang bersamaan. "Dengan cara ini siswa termasuk guru-guru mereka
tertantang untuk selalu punya semangat menganalisa sebuah masalah, menggali
teori, dan melakukan berbagai cara untuk memecahkannya," tandas Pria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar