Sabtu, 11 Januari 2014

Pakai Bahasa dan Logika, Matematika Tidak Akan Rumit!


Senin, 18 Mei 2009 | 14:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Matematika sering dianggap momok, ilmu yang sulit dipelajari dan membosankan. Tetapi, dengan pendekatan berbeda seperti mamakai bahasa dan logika pada soal cerita, Matematika justeru ilmu yang menyenangkan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pria Saptono, Koordinator Acara kompetisi internasional Matematika bertajuk 'Gauss Contest 2009-Canadian Mathematics Competition', yang digelar oleh Sevilla School, Sabtu (16/5) di Jakarta. Pria mengatakan, dengan membiasakan diri memakai metode pembelajaran bahasa dan logika pada soal cerita, kemampuan siswa tidak lagi dibentuk dengan cara hanya menghapal rumus atau menghitung.
"Belum mulai belajar pun siswa biasanya sudah malas duluan ketika melihat hapalan rumus yang tampak rumit dan hitungan yang sulit. Tetapi melalui pemahaman materi lewat kemampuan bahasa dan nalarnya, siswa justru merasa lebih nyaman dan senang untuk mendalami materi," ujar Pria, di sela kompetisi.
Sebagai tolak ukur, Pria membandingkan cara sederhana dalam menawarkan metode pembelajaran kepada para siswa. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, kata Pria, kemampuan bahasa adalah nomor satu, sementara Matematika nomor dua.
Tidak mengherankan, penekanan itu membuat siswa di AS lebih mudah memahami Matematika. "Di sini malah terbalik, kita menjadikan Matematika nomor satu dan Bahasa Indonesia atau Inggris nomor dua," tandas Pria, yang juga guru Matematika di Sevilla School.
Berdasarkan hal itulah, Pria mengatakan, perlunya menerjemahkan materi-materi pelajaran Matematika dalam konsep teori bahasa, baik itu dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris. Lain halnya di Singapura, tambah Pria. Di sana, guru menerjemahkan aljabar dengan gambar-gambar dan teks yang kerap mereka sebut dengan nama 'unit'.
"Karena bahasa berfungsi sebagai alat pemahaman paling mudah dan sederhana, soal cerita bisa menyesuaikan berbagai kasus Matematika, sementara jika tetap dengan rumus belum tentu siswa bisa memahaminya," tambah Pria.
Kendala
Kurikulum adalah kendala, yang menurut Pria cukup membuat metode ini belum bisa sepenuhnya diterapkan. Di Sevilla School, misalnya, selain menggunakan kurikulum Cambridge, pengajaran Matematika juga masih berbekal pegangan dari kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). "Tetapi yang dari Diknas itu adalah pembelajaran dengan pendekatan teori saja, praktiknya bisa kami lakukan dengan bermacam cara," tandas Pria.
Sebaliknya, sejauh ini, pengajaran masih dipenuhi beragam kegiatan yang bersifat verbalistik dan mekanis. Materi dan strategi pembelajaran yang dipilih terarah dan terfokus pada upaya peningkatan kemampuan intelektual siswa, yaitu cara berpikir kritis dan kreatif.
Tidak mengherankan, kata Pria, metode pembelajaran hapal rumus dan hitungan angka-angka kurang merangsang anak didik memahami Matematika secara efektif dan memberi hasil maksimal. "Siswa terkotak-kotak oleh hapalan atau rumus sehingga tidak kreatif menggunakan logika untuk menuntaskan masalah," kata Pria.
Pria menambahkan, selain kreatif, siswa akan terbiasa berkompetisi secara sehat. "Karena cara ini menjauhi siswa dari budaya mencontek, sebab mereka sudah terbiasa membongkar banyak kasus Matematika yang sulit dengan cara, nalar, dan rasa percaya diri mereka yang tinggi," tegas Pria.
Bulan lalu, (30/4), puluhan guru dari berbagai sekolah berkumpul di Sekolah Dasar Santa Ursula, Jakarta. Mereka berdiskusi untuk menemukan solusi agar para siswa tidak menjadikan Matematika sebagai momok menakutkan. Diskusi itu menyimpulkan, Metode Marzano dianggap sebagai pendekatan yang dapat dijadikan pegangan untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Forum diskusi tersebut menyayangkan, sampai kini pengajaran Bahasa Indonesia dan Matematika (baca-tulis-hitung), --yang dijadikan tumpuan dasar bagi pengembangan berpikir siswa pendidikan dasar, belum dikembangkan dengan baik. Menurut Kenneth Cock, Direktur Sampoerna Foundation Teacher Institute (SFTI), yang menjadi fasilitator diskusi, Metode Marzano merupakan teknik soal cerita Matematika yang menekankan pada pengertian siswa terhadap kalimat atau cerita di dalam soal tersebut.
"Uji coba metode ini tentu memudahkan siswa menerjemahkan soal ke dalam angka," ujar Kenneth. "Bila guru yang mengajar Matematika tidak memiliki kemampuan membentuk kalimat dengan baik, si anak didik juga sulit menerjemahkan soal-soal cerita yang dibuatnya," tambah Kenneth.
Kiranya, pendapat Pria pun mengamini komentar tersebut, meskipun tidak di tempat dan waktu yang bersamaan. "Dengan cara ini siswa termasuk guru-guru mereka tertantang untuk selalu punya semangat menganalisa sebuah masalah, menggali teori, dan melakukan berbagai cara untuk memecahkannya," tandas Pria.

Tidak ada komentar: